Soal
1.
Kutipan
buatlah sebuah kutipan langsung pendek menjadi sebuah kutipan tidak langsung
panjang.
2.
Essay
carilah sebuah artikel (dari koran, majalah, dll) dan ubahlah artikel tersebut
dalam bentuk essay (artikelnya bebas). artikelnya di tempel di tugas kalian
itu.
Penyelesaian
1. Kutipan
·
Kutipan langsung pendek
“Masih banyak pelaku usaha seperti restoran, hotel dan usaha lain belum
mengantongi izin lingkungan” kata Kepala BLH Kota Palembang, Tabrani.
·
Kutipan tidak langsung panjang
Para
pengusaha masih banyak yang belum mendapatkan izin dari lingkungannya untuk
usaha yang mereka jalankan. Tetapi mereka masih tetap menjalankan usahanya.
Kalau belum mendapatkan izin bangunan yang mereka pergunakan untuk menjalankan
usaha bisa-bisa digusur oleh pemerintah.
2.
Essay
·
Artikel
Sampai
Kapan Kemacetan ini Berakhir?
Jakarta akan macet
total di 2014, yang nota bene tinggal
8 minggu lagi. Untuk mengatasi problem kemacetan yang semakin
menggila ini, pada tahun 2010 pemerintah, melalui wakil presiden Budiyono,
mencanangkan program 17 langkah penanganan. Beberapa poin penanganan di
antaranya adalah sterilisasi jalur bus transjakarta, kebijakan ulang
perparkiran, dan pembangunan lahan parkir di sekitar stasiun agar pengguna
kendaraan pribadi beralih ke angkutan publik.
Persoalan
kemacetan ini juga menjadi polemik yang menarik antara presiden SBY dan
gubernur DKI Jokowi yang bernada saling menyindir. Dalam pidatonya di Istana
Bogor, saat memberikan sambutan di hadapan anggota KADIN, presiden menyarankan
masyarakat untuk bertanya kepada Jokowi bila menyangkut kemacetan di Jakarta.
SBY juga menambahkan bahwa pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur
dan mengelola kebijakan-kebijakan lokal yang dimaksudkan untuk meningkatkan dan
mempercepat capain pembangunan. Sementara itu, Jokowi menegaskan bahwa
persoalan kemacetan yang parah di Jakarta juga merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat. Menurutnya, kedua pihak harus bekerja sama untuk mengatasi
persoalan yang sudah sedemikian akut dan darurat ini.
Kemacetan
di Jakarta telah demikian parah. Transportasi publik yang cepat, nyaman, dan
murah menjadi impian warganya. Dalam kondisi sekarang, impian ini masih jauh
melayang di langit dan nampaknya sulit sekali untuk diraih. Karena itu, para
pengguna jalan di Jakarta diminta untuk bersabar dan rela menerima keadaan ini.
Mereka juga diminta untuk bersiap menempuh perjalanan yang lebih lama di hari-hari
mendatang.
·
Essay
Sejak pemberlakukan sterilisasi jalur bus transjakarta, para
pengguna jalan di Ibu Kota semakin merana. Kemacetan parah di jalur regular
semakin menjadi-jadi. Perjalanan yang hanya berjarak enam kilometer ditempuh
dalam waktu satu jam! Ini menjadi bukti nyata bahwa Ibu Kota tidak memiliki
sistem transportasi yang jelas. Keadaan ini juga sekaligus mengonfirmasi apa
yang sepuluh tahun lalu telah diprediksi dan diingatkan oleh para pakar
transportasi bahwa Jakarta akan macet total di 2014, yang nota bene tinggal 8 minggu lagi.
Untuk mengatasi problem kemacetan yang semakin menggila ini,
pada tahun 2010 pemerintah, melalui wakil presiden Budiyono, mencanangkan
program 17 langkah penanganan. Beberapa poin penanganan di antaranya adalah
sterilisasi jalur bus transjakarta, kebijakan ulang perparkiran, dan
pembangunan lahan parkir di sekitar stasiun agar pengguna kendaraan pribadi
beralih ke angkutan publik. Dari semua poin itu, satu di antaranya, yaitu
restrukturisasi angkutan umum armada kecil agar beralih ke armada besar, belum
dapat dilakukan. Restrukturisasi ini perlu payung hukum dari pemerintah pusat,
bukan pemerintah daerah. Belum lagi jika berbicara integrasi angkutan umum
antarkota yang tentu tidak bisa diupayakan sendiri oleh DKI Jakarta.
Setelah hampir tiga tahun berjalan, rasanya pengguna jalan
tidak dapat merasakan adanya perubahan berarti dari 17 langkah yang telah
dicanangkan. Yang terjadi justru kemacetan yang semakin tak tertahankan tanpa
kenal waktu dan di hampir seluruh ruas jalan Ibu Kota. Sekali lagi, ini bukti
nyata bahwa para pemerintah hanya baik dalam tataran perencanaan, namun buruk
dalam implementasi dan eksekusi kebijakan. Yang semakin mengkhawatirkan adalah
kebijakan mobil murah yang PP-nya diteken presiden SBY beberapa waktu lalu.
Kebijakan ini kontra produktif dengan 17 langkah yang telah dicanangkan.
Sebentar lagi, puluhan ribu mobil murah dari berbagai merek dan model akan
menjejali jalanan Ibu Kota.
Persoalan kemacetan ini juga menjadi polemik yang menarik
antara presiden SBY dan gubernur DKI Jokowi yang bernada saling menyindir.
Dalam pidatonya di Istana Bogor, saat memberikan sambutan di hadapan anggota
KADIN, presiden menyarankan masyarakat untuk bertanya kepada Jokowi bila
menyangkut kemacetan di Jakarta. SBY juga menambahkan bahwa pemerintah daerah
diberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola kebijakan-kebijakan lokal yang
dimaksudkan untuk meningkatkan dan mempercepat capain pembangunan. Sementara itu,
Jokowi menegaskan bahwa persoalan kemacetan yang parah di Jakarta juga
merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Menurutnya, kedua pihak harus
bekerja sama untuk mengatasi persoalan yang sudah sedemikian akut dan darurat
ini.
Sebenarnya masyarakat Ibu Kota sudah muak, bosan, dan hampir
putus asa dengan kemacetan yang harus mereka hadapi setiap saat. Dampak
persoalan ini semakin mengkhawatirkan. Secara ekonomi, kemacetan ini adalah
inefisiensi yang keterlaluan. Memang belum penghitungan pasti ataskerugian
ekonomi akibat dari kemacetan ini. Tetapi, secara kasar dapat kita prediksi.
Misalkan, ada satu juta mobil dan tiga juta motor yang setiap hari terjebak
kemacetan dalam tempo satu jam saja, berapa milyar rupiah yang dibelanjakan
secara sia-sia?
Katakan setiap mobil memboroskan satu liter bahan bakar dan
sepeda motor seperempat liter, maka dengan patokan harga premium sebesar 6.500
rupiah, kerugian ekonominya mencapai hampir 11 milyar per hari! Dalam tempo
setahun, kerugian hanya dari pemborosan bahan bakar yang ditanggung menjapai 4
triliun! Uang sebanyak ini bisa untuk membiayai pembangunan monorel! Ini pun
hanya penghitungan kerugian minimal. Bisa dibayangkan bila jumlah kendaran yang
terjebak kemacetan lebih banyak, tentu pemborosannya jauh lebih besar. Beban
kerugian ini menjadi berlipat ganda karena bahan bakar premium adalah bahan
bakar yang disubsidi pemerintah. Tentu sangat menjadi sangat tidak masuk akal
bila persoalan ini dibiarkan berlarut-larut dan hanya akan menggerogoti dan
membebani rakyat.
Dampak lain yang tidak dapat dihitung secara ekonomi terkait
dengan kerugian psikologis dan mental para pengguna jalan. Stres dan fatig
(kelelahan fisik yang luar biasa) menjadi ancaman terhadap produktifitas.
Berjam-jam terjebak kemacetan menimbulkan gangguan psikologis yang dapat
mengganggu keseimbangan hidup. Para pekerja yang stres setiap kali hendak
berangkat dan pulang kerja menimbulkan menurunnya produktifitas kerja.
Kelelahan yang dialami dalam perjalanan mengakibatkan kinerja yang buruk. Bila hal
ini terjadi setiap hari, dapat dipastikan produktifitas pekerja menjadi akibat
yang masuk akal. Akal sehat dan emosi pekerja mudah terganggu.
Akibat lebih lanjut dari tingkat stres dan kelelahan ini
adalah perilaku buruk dalam berlalu lintas. Tuntutan untuk bergerak cepat di
dunia yang nampaknya berputar lebih kencang ini menjadikan para pengguna jalan
berperilaku selfish. Saling serobot
dan mau menangnya sendiri menjadi pemandangan sehari-hari di jalanan.
Masing-masing diburu waktu dan perlu sampai ditujuan lebih cepat sehingga
mengakibatkan lalu lintas yang semrawut di setiap persimpangan jalan. Klakson
yang bising dan umpatan dari para pengendara adalah polusi telinga yang sering
terdengar di jalan raya.
Kemacetan di Jakarta
telah demikian parah. Transportasi publik yang cepat, nyaman, dan murah menjadi
impian warganya. Dalam kondisi sekarang, impian ini masih jauh melayang di
langit dan nampaknya sulit sekali untuk diraih. Karena itu, para pengguna jalan
di Jakarta diminta untuk bersabar dan rela menerima keadaan ini. Mereka juga
diminta untuk bersiap menempuh perjalanan yang lebih lama di hari-hari
mendatang. Pertanyaannya, sampai kapan? Tanyakan saja kepada rumput yang
bergoyang.